Do’a dan Rumah, Kaukah Itu?

Bukankah kita tengah memandang bintang yang sama,
Kala itu,
di kali pertama kau menyapa ruang tak bertuan,
Lagi tak bernyawa.

Kau tengah mengisahkan angkuhnya tiap gemintang
yang
menyapa setiap likumu,
Sementara aku,
selalu mencuri waktu menikmati setiap lengkungan senyum itu.

Hmmm,
Kau tak ubahnya mengesankan jumawa,
Meski kutau,
kau menyimpan lembut sekaligus kelunya rasa.

“Aku tak kan di sini, jika sekedar menginginkan bertamu”, lugasmu.
Terdengar saaaangat santun meski tersalut janggal di inderaku.
Sembari menggerakkan bola matamu
pada benderangnya purnama di langit tak bersudut itu.

Aku?
Diam.
Menyimak setiap lantunan baitnya.

Sesekali kulirik kerlingan mata itu,
Menyipit kelu menyimpan setiap sendu,
yang tiada kausadari__seperti biasa__selalu tak mampu kau halau.

“Aku telah letih dengan ketakberuntunganku menemukan jalan pulang”,
ucapmu bergetar dengan tubuhmu yang juga mulai menghangat,
Akibat bara yang pun t’lah lama bersemayam.

Aku?
Tetap dengan diam.
Terus mematung menyimak.
Mencoba menerka kelanjutan baitnya.

“Apakah rupamu? Apakah kau rumah?
Apakah kau jalan pulang?”,
kau mulai menerka dalam kelamnya stigma.
Tanpa jenaka.
Menatapku dalam.
Memelas asa dengan sang pekat.

“Kaukah itu?”

Aku?
Tetap menatapmu dalam diam.
Tak ingin menyimak lanjutan baitnya,
Seolah merasakan pilu yang t’lah kau getarkan dalam sukma.

Terburu kumenjawab,
“Menetaplah,… Bukanku,…
Kaulah jalan kembaliku,
Kaulah do’aku”.

Dan kini,
menarilah dalam takjubnya tiap syair yang kau nyanyikan…
Bersisian denganku,
berjanji tak melepaskan genggamanmu.

Sejatinya di posting kemarin, 10 Mei 2021
Ntah untuk merayakan ataukah justru malah mengenang ^^

Love,
qee suhardi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *