Hei Laut,
Aku melihat riak-riak ombak dalam tenangmu,
Kegelisahan, tentang angin yang bertiup sepoi,
atau badai yang menderu.
Sesekali kau menarik nafas dalam-dalam,
menarik airmu cukup jauh dari bibir pantai.
Di sudut-sudutmu karang-karang terjal siap memecah suasana.
Menjadikan deburan ombak memecah sunyi,
Walaupun tenang tetap terasa, aku tau kau bergelora.
Teriakan itu tak dapat lagi kau tahan.
Seberat itukah yang kau rasa?
Sedalam palung itukah lukamu?
Memelihara dunia dengan gelombang arusmu sendiri.
Beratkah?
Laut,
Tidakkah kau ingat betapa ribuan kehidupan mengharapkan luasmu?
Menantikan jernihmu?
Atau bahkan tingginya ombakmu?
Jangan kau hiraukan sampah yang mereka buang padamu,
Aku siap membersihkannya.
Tak kan pernah meninggalkanmu.
Hapuskan dukamu, kembalikan birumu.
Agar pribadi yang datang padamu selalu bercerita,
betapa engkau sungguh mempesona.
Engkau lautku.
Selalu.
CR
Puisi ini dikirim dari seorang lelaki kepada seorang sahabat,
yang aku yakin pada saat itu dikirimnya dengan penuh cinta meski cemburu.
[Dengan foto yang menyertai sesuai dengan pesenannya juga haha]
Apa yang tak ia syukuri ketika mendapati puisi menyentuh ini dalam layar handphone di saat air matanya jatuh begitu membanjir?
Mengumpamakannya sebagai laut yang begitu dipuji dengan segudang keindahan yang ditawannya, keluasan hatinya, dan keanggunan angkuhnya.
Tetapi, yang ia tak pernah tau pada saat itu ialah bahwa ia hanya akan kembali terluka justru oleh Sang Pujangga!
Meskipun ia tetap mencinta dalam diamnya…
[semoga tak salah ilustrasi. lol]
love,
qee suhardi
Wuiihh, udah jadi puitis aja Qi. Kerennn
hahaha ;p
Lagi..lagi.. lagiii..
hahaha ayokk request dengan tema apa? ;p